Nguri-uri secara harafiah dapat diartikan sebagai kegiatan petani ketika sedang menabur bibit di awal masa menanam. Dengan kata lain nguri-uri merupakan kegiatan menanam atau proses membudidayakan suatu hal. Bercocok tanam atau berbudidaya dalam kegiatan pertanian dapat disamakan juga dengan kegiatan merawat atau menumbuhkan.
Nguri-uri dalam frase Jawa juga sering dikaitkan dengan merawat tradisi atau segala bentuk kebudayaan (Jawa). Nguri-uri budaya diartikan sebagai kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjaga warisan leluhur Jawa yang dikemas dalam tata cara, nilai-nilai atau selebrasi Jawa.
Istilah nguri-uri tidak hanya digunakan dalam istilah pertanian saja karena menurut orang Jawa, semua perihal baik harus dilestarikan. Sementara itu kegiatan bercocok tanam merupakan bagian yang sangat lekat dengan kehidupan sebagian besar orang Jawa. Dalam kehidupan berbudaya, tradisi diibaratkan seperti bibit atau bakal tanaman yang baik bagi manusia.
Oleh karena itu, tidak hanya bibit tanaman yang di-uri-uri namun juga kebudayaan. Budaya digambarkan sama dengan padi atau tanaman lainnya yang harus dilestarikan, dirawat dan dijaga karena manusia membutuhkannya untuk kehidupan.
Dalam konteks Madiun saat ini contohnya, istilah nguri-uri budaya sering digunakan dalam kegiatan tradisional dan forum-forum diskusi. Nguri-uri budaya saat ini dapat dilaksanakan baik dengan membuka dialog masyarakat maupun praktek dari mengenai kebudayaan Jawa. Dalam Bulan Suro misalnya, Kota Madiun selalu mengadakan jamasan (cuci pusaka) untuk menandakan kebersihan diri di awal tahun baru Jawa.
Beberapa kelurahan juga sering mengadakan tanggapan wayang, wayang orang, ludruk atau ketoprak. Di daerah Celaket misalnya, kegiatan nguri-uri budaya dilakukan dengan mengajari para pemuda daerah keahlian gamelan. Juga di Tunggul Wulung, nguri-uri budaya dilakukan dengan cara melakukan kajian budaya setiap bulan.
Dalam banyak kegiatan budaya, bukan hanya para penampil saja yang melakukan uri-uri, namun para penonton juga secara langsung ikut melestarikan budaya. Oleh karena nguri-uri budaya ini, banyak anak-anak yang diajak oleh orang tuanya melihat pagelaran wayang bahkan hingga menjelang pagi.
Nguri-uri budaya adalah istilah bagi orang Jawa untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang. Istilah nguri-uri bukan istilah yang terpisah dari kebudayaan, nguri-uri adalah cara sekaligus kebudayaan itu sendiri. Nguri-uri budaya dapat ditularkan dengan melaksanakan tradisi maupun menyampaikannya secara verbal atau tertulis.
Beberapa antropolog atau pelaku budaya berusaha menebarkan (nguri-uri) nilai-nilai kebudayaan melalui media tertulis Misalnya saja Poerbacaraka. Sering kali nilai-nilai Jawa yang dituliskan tidak dapat terlepas dari sejarah, mitos dan kepercayaan Jawa. Dengan kata lain nguri-uri merupakan cara bagi orang Jawa untuk melestarikan keseluruhan ilmu yang telah ada dan diturunkan oleh leluhur.
Menurut Hilman(penulis novel), nguri-uri kabudayan merupakan usaha untuk memajukan jati diri bangsa . Hal ini dapat diartikan bahwa kebudayaan merupakan identitas dari suatu kelompok masyarakat. Tata cara, etika, tradisi suatu merupakan bahan pengidentifikasian identitas suatu bangsa. Apabila tidak di uri-uri, maka orang Jawa akan kehilangan identitasnya.
Oleh karena itu banyak usaha orang Jawa dalam nguri-uri lebih bermaksud untuk mempertahankan jati dirinya. Misalkan saja kepemilikan keris. Keris kini tidak lagi digunakan sebagai senjata untuk berperang karena ketajamannya, namun lebih menjadi sesuatu yang dibanggakan dan di luhurkan karena nilai sejarah dan estetikanya.
Demikian juga halnya dengan pelaksanaan tradisi lain seperti tata cara bergotong royong, merayakan selebrasi, berdoa maupun menghormati leluhur. Seluruhnya digunakan untuk melestarikan kebudayaan asal.