Petani Asal Ponorogo Ini Meraup 25jt/Bln Dari Pertanian Melon Hidroponik -Sistem bertani ala hidroponik memang bisa dijadikan solusi bagi mereka yang tak punya lahan atau hanya memiliki lahan sempit. Salah satu yang merasakan manfaatnya adalah Dedy Setiawan, warga Mangkujayan, Kabupaten Ponorogo.Dedy awalnya juga mengaku prihatin karena sistem pertanian pada umumnya menggunakan pestisida dan bahan kimia yang bisa menempel pada bahan pangan yang dihasilkan.
“Berawal dari keprihatinan banyaknya penggunaan pestisida dan bahan kimia di bahan makanan, akhirnya tercetus ide membuat lahan pertanian dengan sistem modern. Ya jadinya seperti ini sistem hidroponik,” tutur Dedy saat ditemui di kediamannya, Jumat (23/11/2018).Dedy kemudian menyulap lahan miliknya yang terletak di Jalan MT Haryono, Kelurahan Mangkujayan, Kecamatan Ponorogo menjadi green house. Lahan seluas 400 x 350 meter ini juga telah dilengkapi dengan jaring-jaring sebagai penghalau serangan hama.
Pria berusia 36 tahun ini memilih melon golden untuk dibudidayakan. Menurutnya, melon memiliki nilai jual tinggi jika dibandingkan dengan tanaman cabai, tomat, semangka ataupun terong.”Melon ini untuk investasi, punya nilai jual tinggi, jenisnya melon golden,” terangnya.
Melon-melon ini ditanam dengan media batu zeolit yang dicampur dengan cocopeat atau serat kelapa. Sebelum dipakai, keduanya telah disterilkan terlebih dahulu. Setelah itu media tanam diberi pupuk NPK ditambah unsur mikro serta hormon pertumbuhan.Batu zeolid sengaja digunakan karena batu ini mampu mengikat mikroorganisme mikoriza yang dapat mengikat fosfat sehingga tidak membutuhkan banyak pupuk di saat pembesaran buah. Lagipula batu zeolit juga bisa digunakan berkali-kali tanpa khawatir media akan rusak.
Kemudian untuk pengairannya, bapak tiga anak ini menggunakan fertigasi (sistem irigasi) tetes. Keunggulannya, selain tidak membuat kotor, penggunaan air dan pestisidanya juga dapat diminimalisir sebab jadwal pengairannya telah diatur bersamaan dengan jadwal pemberian nutrisi.Hasilnya, melon sudah dapat dipanen 65 hari setelah masa tanam, dan dapat dipanen sepanjang musim. Rasanya juga lebih renyah dibandingkan melon yang ditanam di areal persawahan.
“Dalam satu tahun bisa 3-4 kali panen, kalau di sawah kan maksimal 1-2 kali panen,” imbuh Dedy.
Kendati demikian, diakui Dedy, di awal memulai sistem ini, ia sempat mengalami kegagalan karena pemberian nutrisi, pengairan dan perawatan yang tidak tepat. Namun kesulitan ini berhasil dilaluinya dengan cara berdiskusi serta merekrut sarjana pertanian untuk bergabung bersamanya.
Dedy menambahkan, saat baru memulai, petani memang perlu mengeluarkan banyak biaya untuk investasi awal. “Tapi setelah satu tahun berjalan bisa langsung balik modal, malah bertambah hasilnya di tahun berikutnya,” tandasnya.
Dedy sendiri telah meraup keuntungan mencapai Rp 25-30 juta/bulan. Ia telah menemukan bahwa pangsa pasar untuk melon golden terbuka luas, terutama dari Bali yang permintaannya mencapai 20 ton, hanya dari supermarket modern saja. Namun untuk saat ini, Dedy baru bisa memenuhi 10 ton.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, Dedy juga telah membuka dua lahan lainnya. Yang satu di Ponorogo dengan 3.000 titik tanam dan satu lagi di Maospati, Magetan dengan 4.000 titik tanam